Qana’ah Adalah Sebuah Sikap Progesifitas

Sifat Qana'ah
Sumber gambar adalah teks.co.id

Qana’ah Adalah Sebuah Sikap Progesifitas

Oleh : Agus M. Mutawakkil Alallah, M.Ps.I (Kepala MA Takhassus Al-Inaaroh)

Definisi qanā’ah lebih banyak dipahami sebagai konsep penerimaan yang statis. Bahwa, seseorang yang mampu menerima apa saja yang terjadi dalam hidupnya sudah dapat disebut seorang yang qanā’ah. Definisi semacam ini tidak membebani subjek untuk merespons balik segala sesuatu yang menimpa dirinya, karena ia hanya melakukan penerimaan secara total. Kesulitan-kesulitan dalam hidup yang melekat pada dirinya seperti dibiarkan begitu saja, tanpa ada dorongan untuk segera beranjak dari kesulitan itu, dengan kesadaran bahwa setiap kesulitan juga disertai kemudahan. Hal semacam ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh Allah pada al-Insyirāh [94]: 5–8 sebagai berikut:

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ ٥ اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ ٦ فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ ٧ وَاِلٰى رَبِّكَ فَارْغَبْ ࣖ ٨

Maka, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Apabila engkau telah selesai (dengan suatu kebajikan), teruslah bekerja keras (untuk kebajikan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmu berharaplah! 

Ayat ini selain menegaskan bahwa Allah selalu memberikan sisi kemudahan di setiap kesulitan yang dihadapi manusia, juga menjelaskan bahwa seorang mukmin semestinya tidak statis. Yakni, karena Allah menjamin adanya kemudahan dalam setiap kesulitan, maka manusia mesti mengusahakannya dengan segera beranjak dari satu hal yang sudah ia selesaikan untuk mengerjakan yang lainnya, termasuk dalam mengusahakan terbebasnya diri dari kesulitan (al-‘usr). Oleh karena itu, sikap statis menerima kesulitan hidup pun tidak relevan lagi. Mukmin yang ditimpa kesulitan hidup mula-mula mesti sadar bahwa dalam kesulitan yang ia hadapi ada kemudahan-kemudahan yang dijanjikan Allah, dengan catatan ia mengusahakan itu.

Menurut al-Marāgī, kata al-'usr pada dua ayat dalam al-Insyirah itu bermakna kefakiran, kelemahan, kesempitan, keruwetan, dan sejenisnya. Baginya ayat itu menjadi penegasan bahwa bersama dengan kurangnya sarana dalam menggapai sesuatu yang dicari terdapat jalan keluar ketika seseorang mampu bersabar dan tawakkal kepada Allah. Namun demikian, al-Marāgī juga menonjolkan keterangan bahwa terkait ayat selanjutnya, terdapat dorongan agar umat manusia al-muwāẓabah ‘alā al-‘amal was-tidamatuh (gigih dan berkelanjutan dalam amal/bekerja). Kemudian, pada ayat penutup surah itu dalam penjelasan al-Maragi diposisikan sebagai penegasan agar seseorang tidak sekailipun mengharapkan balasan atas pekerjaan yang ia lakukan kecuali hanya kepada Allah.

Dengan demikian, jelas bahwa selain ditegaskan bahwa pada setiap kesulitan hidup selalu ada jaminan kemudahan dari Allah, rangkaian ayat itu juga menunjukkan keniscayaan untuk selalu bekerja dan beramal. Hal ini menguatkan bahwa dalam al-Qur`an, kesusahan mestinya tidak disikapi dengan statis, tetapi dengan tetap aktif berusaha menyingkirkan kesusahan itu, dengan berpegang teguh pada jaminan adanya kemudahan dari Allah dalam tiap kesusahan hidup. Makna penerimaan yang menuntut keaktifan seperti itu, atau yang dapat disebut dengan qanā’ah progresif juga didukung oleh surah lain yang menegaskan ruginya hidup seseorang yang asketik dan statis. Allah mengisyaratkan dalam surah al-‘Aṣr [103]: 1–3 bahwa orang yang tidak beriman dan tidak bekerja dengan baik (‘amilū aṣ-ṣāliḥāt). Berikut lebih jelasnya:

وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ ٣

Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.

Berdasarkan catatan aṭ-Ṭabarī, maksud kerugian pada ayat tersebut ialah bahwa manusia benar-benar dalam kerusakan (halakah) dan kekurangan (nuqṣān). Adapun untuk menghindarkan diri dari itu, al-Qur`an menyebutkan syarat, yakni dengan beriman, mengerjakan amal shalih, saling menasihati untuk kebenaran, dan saling mengingatkan dalam sabar. Bagi aṭ-Ṭabarī, keempat hal ini adalah keniscayaan untuk menjauhkan diri dari kekurangan dan kerusakan. Yakni dengan menjadikan iman sebagai fondasinya, kemudian di atasnya didirikan bangunan-bangunan berupa mengerjakan segala sesuatu yang baik dalam ketaatan kepada Allah serta jauh dari maksiat kepada-Nya.

Berdasarkan penjabaran tersbut, dapat dipahami bahwa al-Qur`an mendorong umat untuk hidup dengan aktif. Bahkan, ketika ditimpa suatu masalah atau beban hidup, sikap yang mesti diambil ialah melakukan respons balik, bukan hanya menerima an pasif. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa berusaha untuk memperbaiki diri dan kondisi adalah sebuah keniscayaan, dan tidak dapat sepelekan. Bahkan, orang-orang yang enggan untuk aktif merespons persoalan hidup diisyaratkan dari ayat-ayat itu sebagai orang yang merugi, di samping juga tidak akan memperoleh jaminan diberikan kemudahan hidup oleh Allah. Oleh karena itu, sudah sepatutnya, dalam menghadapi masalah atau kesulitan, umat Islam mesti tetap menjunjung prinsip ikhtiar terlebih dahulu, kemudian disusul tawakal, dengan hubungan ikhtiar-tawakal secara kontinu dan progresif.

Beranda Alinaaroh

Beranda Al-Inaaroh merupakan media yang mengakomodir berbagai bentuk informasi lembaga pendidikan yang ada di bawah naungan Yayasan Abah Lutfi Center.

Post a Comment

Berkomentarlah dengan sopan dan sesuai dengan topik pembahasan

Previous Post Next Post