Oleh : Agus. Muhammad Mutawakkil Alallah Kafabih, S.Psi M.Ag
Dalam Minhaj al-Muta'alim karya Imam al-Ghazali disebutkan:
وَيَجِبُ عَلَى الْمُتَعَلِّمِ أَنْ يَكُونَ مُسْتَفِيدًا فِي كُلِّ وَقْتٍ حَتَّى يَحْصُلَ لَهُ الْفَضْلُ وَأَنْ يَكُونَ مَعَهُ فِي كُلّ وَقْتٍ مَحْبَرَةٌ حَتَّى يَكْتُبَ مَا سَمِعَهُ مِنَ الْفَوَائِدِ، لِذَلِكَ قِيْلَ: مَنْ حَفِظَ فَرَّ وَمَنْ كَتَبَ قَرَّ.
“Wajib bagi seorang santri untuk senantiasa memanfaatkan waktunya, sehingga ia pun berhasil meraih keutamaan. Sebaiknya, ia juga setiap waktu membawa tinta sehingga ia dapat menuliskan segala faedah yang ia dengar. Karena itu, ada yang mengatakan: Orang yang hanya hafal saja akan hilang hafalannya, sementara orang yang juga mencatat maka akan tetap.”
Disiplin terhadap waktu merupakan karakter krusial yang sangat diperlukan dalam kehidupan dewasa ini. Karakter ini pun dapat mengantarkan seseorang mencapai tingkat produktivitas yang optimal. Dalam hal ini, kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan waktu dengan efisien tidak hanya memungkinkan seseorang menyelesaikan tugas-tugas harian dengan lebih efektif, tetapi juga membentuk fondasi kehidupan yang lebih baik secara keseluruhan.
Dengan disiplin dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, individu mampu merencanakan kegiatan-kegiatan dengan lebih terstruktur. Ia pun akan menjadi pribadi yang mampu menghindari penundaan yang tidak produktif. Bahkan, kedisiplinan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk meraih potensi penuh dirinya dalam segala aspek kehidupannya.
Renungan Filosofis
Dalam perenungan filosofis tentang waktu, berbagai pandangan menarik muncul, mencerminkan kompleksitas dan keragaman makna yang terkandung di dalamnya. Kahlil Gibran menyajikan waktu sebagai manifestasi cinta yang tak terukur dan tak terbagi, merinci bahwa cinta sejati harus diberikan sepenuh hati tanpa pembagian persentase. Malik Bennabi, melalui metafora sungai yang mengalir, menyoroti perspektif ganda waktu yang bisa membangkitkan semangat atau meninabobokkan manusia.
Pandangan Newton mengenai waktu sebagai siklus yang membentuk lingkaran, menekankan konsep berulang dan tak terbatas. Dalam konteks ini, waktu bukanlah sumber daya yang terbatas, tetapi ciptaan dirinya sendiri yang berulang tanpa henti. Sementara itu, dalam filosofi Jawa, "cakra manggilingan" menggambarkan kehidupan sebagai roda yang berputar, dengan kunci "triwikrama" sebagai cara untuk menguasai masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Secara menyeluruh, pandangan-pandangan ini mengajarkan bahwa waktu bukan sekadar dimensi linear atau sumber daya terbatas, tetapi juga sebuah realitas kompleks yang melibatkan aspek-aspek emosional, spiritual, dan siklus kehidupan. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang waktu tidak hanya relevan untuk efisiensi dan produktivitas, tetapi juga untuk memahami nilai-nilai kehidupan yang sejati dan menciptakan harmoni dalam perjalanan hidup yang terus berputar.
Waktu dan Alfiyah
Dalam Madarij as-Salikin, Ibnu Qayyim memberi nasihat:
إِذَا أَرَادَ اللّٰهُ بِالْعَبْدِ خَيْرًا أَعَانَهُ بِالْوَقْتِ، وَجَعَلَ وَقْتَهُ مُسَاعِدًا لَهُ، وَإِذَا أَرَادَ بِهِ شَرًّا جَعَلَ وَقْتَهُ عَلَيْهِ، وَنَاكِهِ وَقْتُهُ.
“Apabila Allah menghendaki seorang hamba baik, maka Dia akan menolongnya dengan waktu. dan Dia menjadikan waktu sebagai penolong untuknya. Namun, apabila Allah menhendaki seseorang buruk, maka Dia menjadikan waktunya memunggunginya, dan waktunya pun akan melawan dirinya.”
Di awal ini saya akan mencoba mengenalkan bagaimana pesantren menyediakan pendekatan untuk membentuk karakter dalam pendisiplinan waktu. Pentingnya mendisiplinkan waktu dalam pembangunan karakter santri di pesantren ini pun menjadi semakin nyata dengan adanya stimulus yang kuat, dan pendekatan yang saya tawarkan salah satunya melalui pemahaman dan hafalan nadzam Alfiyah Ibnu Malik.
Tepat sekali! Dalam pembelajaran di pesantren, waktu menjadi elemen yang tak dapat diabaikan, dan hal tersebut tentu beriringan dengan tuntutan kedisiplinan yang diwujudkan melalui penguasaan Alfiyah Ibnu Malik.
Kitab Alfiyah Ibnu Malik, sebagai buku syair tata bahasa Arab dari abad ke-13, memainkan peran sentral dalam pembentukan karakter dan disiplin waktu santri. Di samping kewajiban memahami Al-Qur'an, santri juga dihadapkan pada tugas mempelajari Alfiyah Ibnu Malik. Sebuah tugas sekaligus tantangan bagi santri, yang tidak hanya memerlukan konsistensi akan waktu, tetapi juga menuntut dedikasi tinggi.
Pemahaman mendalam terhadap kitab ini menciptakan target pembelajaran yang konkrit, mengharuskan santri untuk mengatur waktu dengan bijak agar dapat menguasai setiap nadzam pada masing-masing bab berikut penjelasannya. Proses pembelajaran Alfiyah Ibnu Malik ini tidak hanya menjadi pelajaran linguistik, tetapi juga sebagai latihan dalam mendisiplinkan diri, fokus, dan ketelitian bagi santri.
Pada gilirannya, pembangunan karakter disiplin waktu melalui pemahaman Alfiyah Ibnu Malik tidak hanya menciptakan santri yang mahir dalam bahasa Arab, tetapi juga individu yang terbiasa menghargai setiap detik dalam hidupnya. Target untuk memahami setiap bagian kitab tersebut pun menjadikan santri memandang waktu bukan sekadar hitungan angka, melainkan sebuah peluang untuk menggali ilmu dan mengasah karakter, dan setiap detiknya adalah peluang besar.