Keistimewaan al-Qur’an dapat kita lihat pada lafal-lafal al-Qur’an, struktur kalimat, dan ayat-ayatnya terdapat harmoni, keselarasan dan kemudahan yang membuat ia mudah dihafal oleh mereka yang benar-benar ingin menghafalnya, memasukannya ke dalam dada, dan menjadikan hatinya sebagai wadah al-Qur’an. Kebanyakan mereka memulainya ketika masih kanak-kanak dan belum dewasa. Fenomena ini tidak dijumpai pada kitab-kitab lain, baik kitab suci agama maupun kitab biasa, tidak ada yang hafal oleh sedemikian banyak orang.
Apabila dicari orang yang hafal kitab agama Nasrani (Injil), maka tidak akan menemukan satu pun yang hafal kitab ini, baik seluruhnya, setengahnya, atau pun seperempatnya. Bahkan, dari kalangan orang-orang yang mengimani kitab tersebut ; Para pastor, rahib, pendeta, uskup, dan pimpinan katedral sekalipun. Berbeda dengan Al-Qur’an, kita akan dengan mudah menemukan orang yang hafal al-Qur’an dengan baik, bahkan dari kalangan non Arab. Contohnya saudara-saudara kita di India, Pakistan, Bengal, Afganistan, Turki, Senegal, dan orang-orang keturunan Asia dan Afrika lainnya. Padahal mereka tidak bisa berbahasa Arab. Ini semua adalah wujud nyata dari firman Allah.
Banyak sekali dalil dalam al-Quran, as-Sunnah maupun literatur kitab kuning karangan Ulama’ klasik juga kontemporer, menunjukkan keutamaan menghafal al-Qur’an, di dunia maupun di akhirat. Dalam perspektif lain, yakni neurosains, kegiatan menghafal al-Qur’an dan mengulang hafalannya (muroja’ah) juga merangsang proses mielinisasi. Mielinisasi adalah proses pembentukan mielin sebagai selubung dalam syaraf otak manusia yang berfungsi sebagai penghantar impuls (rangsangan) dalam otak yang bertugas mempercepat arus informasi di otak. Sehingga menjadikan informasi lebih mudah dimunculkan, sehingga menjadikan seseorang lebih cerdas dan memiliki memori yang kuat.
Beberapa tahun terakhir, program atau kegiatan menghafal (tahfidz) al-Qur’an menjadi fenomena yang terkesan solutif hingga menjadi trend di tengah masyarakat Islam Indonesia. Pesantren tahfidz, rumah tahfidz, dauroh (pelatihan) tahfidz, program tahfidz, hingga beasiswa bagi penghafal (hafidz) al-Qur’an cukup banyak menggurita di berbagai tempat di tanah air. Memang salah satu metode mempelajari al-Qur’an yang efektif adalah dengan menghafalnya. Akan tetapi, beberapa pihak yang sebagian di antaranya adalah santri pondok pesantren salaf, akademisi bidang ilm al-Qur’an dan pakar pendidikan memandang bahwa kegiatan memahami al-Qur’an lebih diperlukan dalam konteks keindonesiaan. Lalu bagaimana ? meletakkan pandangan yang presisi dan komprehensif di antara keduanya ?
Potert anak kecil sedang membaca dan menghafal Qur'an |
Berangkat dari aktifitas menghafal al-Qur’an tanpa memahami makna ayat-ayatnya, dinilai kurang memberikan manfaat. Begitu halnya dengan jalur alternatif yang ada, yakni pemaknaan yang di lakukan oleh terjemahan tekstual al-Qur’an, juga sering menimbulkan pemaknaan yang keliru, begitu juga praktiknya. Apalagi jika di hadapkan dengan konteks keislaman di Indonesia. Dari sisni, memahami al-Qur’an dinilai lebih dibutuhkan dan lebih diperlukan. Itu disebabkan karena perbedaan bahasa dan latar belakang kondisi sosial masyarakat. Memahami Al-Qur’an dengan terjemahan sering kali keliru, sehingga untuk memperdalam pemahaman Al-Qur’an tersebut dibutuhkan pengkajian lain yang lebih mendalam. Termasuk Ulumul qur’an, tafsir, ilmu alat yang mumpuni dan tentu saja dikaitkan dengan ilmu pengetahuan lainnya, termasuk di luar lingkup pengetahuan agama Islam. Sehingga mengkaji al-Qur’an tidak hanya memberikan informasi tentangnya dan peningkatan spiritual seseorang saja, tetapi juga menghadirkan inspirasi untuk kemajuan umat Islam.
Apabila aktifitas menghafal dan memahami al-Qur’an ini di dekati dengan ilmu syari’at atau fiqh, mana yang lebih dutamakan ?. Apabila orang yang mempelajari belum memasuki aqil baligh, dengan kisaran umur antara 5-9 tahun, maka program tahsin dan tahfidz al-Qur’an sangat baik dan diutamakan untuk diajarkan kepada orang tersebut. Akan tetapi jika orang tersebut sudah memasuki aqil baligh, maka mengetaui ilmu syari’at adalah menjadi kewajibanya. Mengetahui ilmu syari’at bersumber dari al-Qur’an dan hadits, akan tetapi kita tidak bisa mendapatkan pemahaman yang utuh, mashlahat dan terjaga dari kesesatan, apabila kita tidak bermadzhab. Aktifitas bermadzhab inilah yang meniscayakan muslimin dan muslimat harus menguasai ilmu keislaman secara komprehensif ; bersumber dari literatur arab yang pasti ta’alluq dengan al-Qur’an dan Hadits, sebelumnya harus menguasai gramatika bahasa arab, mengkaji dan mengklasifikasi literatur yang kredibel dan patut untuk di jadikan hujjah dan lain sebagainya, termasuk ilmu yang di gunakan untuk memahami al-Qur’an. Memahami belum tentu mendapatkan sebuah kebenaran, paling tidak kita sudah mendekati al-Qur’an dengan piranti/ilmu yang telah diajarkan oleh ulama’ warotsatul anbiya’. Wallahu a’lam bi shawab
Apabila aktifitas menghafal dan memahami al-Qur’an ini di dekati dengan ilmu syari’at atau fiqh, mana yang lebih dutamakan ?. Apabila orang yang mempelajari belum memasuki aqil baligh, dengan kisaran umur antara 5-9 tahun, maka program tahsin dan tahfidz al-Qur’an sangat baik dan diutamakan untuk diajarkan kepada orang tersebut. Akan tetapi jika orang tersebut sudah memasuki aqil baligh, maka mengetaui ilmu syari’at adalah menjadi kewajibanya. Mengetahui ilmu syari’at bersumber dari al-Qur’an dan hadits, akan tetapi kita tidak bisa mendapatkan pemahaman yang utuh, mashlahat dan terjaga dari kesesatan, apabila kita tidak bermadzhab. Aktifitas bermadzhab inilah yang meniscayakan muslimin dan muslimat harus menguasai ilmu keislaman secara komprehensif ; bersumber dari literatur arab yang pasti ta’alluq dengan al-Qur’an dan Hadits, sebelumnya harus menguasai gramatika bahasa arab, mengkaji dan mengklasifikasi literatur yang kredibel dan patut untuk di jadikan hujjah dan lain sebagainya, termasuk ilmu yang di gunakan untuk memahami al-Qur’an. Memahami belum tentu mendapatkan sebuah kebenaran, paling tidak kita sudah mendekati al-Qur’an dengan piranti/ilmu yang telah diajarkan oleh ulama’ warotsatul anbiya’. Wallahu a’lam bi shawab
Kontributor : Agus Muhammad Mutawakkil AK, S.Psi., M.Ag